Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Blogger Jateng

Tradisi Bau Nyale yang Memiliki Keunikan

Selain memiliki alam dan pantai yang indah, ada hal menarik yang biasa masyarakat Pulau Lombok, Nusa Tenggara Bara lakukan setiap tahunnya yaitu Festival Baru Nyale, tradisi yang kental dengan legenda dan nilai filosofi.

Festival Bau Nyale juga jadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, yaitu bisa menyaksikan langsung kegiatan berburu cacing Nyale yang dilakukan masyarakat lokal, bahkan wisatawan juga bisa ikut serta.

Kegiatan berburu cacing Nyale biasa masyarakat lakukan dari dini hari dini hari, turun ke laut untuk menangkap cacing yang berada di sekitar bibir pantai yang surut. Uniknya cacing tersebut hanya muncul setahun sekali.

Tradisi berburu cacing laut tersebut di sebut “Bau Nyale”. Bau artinya menangkap, dan Nyale adalah sejenis cacing laut yang hanya muncul setahun sekali di beberapa lokasi tertentu di pantai selatan Pulau Lombok.

Apa Itu Sebenarnya Cacing Nyale?

Cacing Nyale
Penampakan cacing Nyale /  thelangkahtravelcom

Nyale, atau yang lebih dikenal sebagai cacing laut, tergolong dalam Filum Annelida atau keluarga cacing-cacingan dari kelas Polychaeta. Di Pulau Lombok, terdapat 25 famili Polychaeta, termasuk Eunicidae dan Nereidae. Studi yang dilakukan pada tahun 1993 oleh para peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengungkapkan bahwa bau Nyale sebenarnya adalah hasil dari pemijahan massal (swarming) Polychaeta, yang terjadi sekali setahun melibatkan jutaan Nyale di bagian selatan Lombok, terutama di Pantai Seger, Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.

Pantai Seger, dengan terumbu karang dan perairan dangkalnya, menyediakan habitat yang nyaman bagi Nyale untuk berkembang biak dan melindungi diri dari predator alami. Dalam satu meter persegi (m2), populasi Nyale dapat mencapai 67 individu dari 11 famili. Pemijahan massal Nyale hanya terjadi di Pantai Seger dan berlangsung selama satu tahun.

Dalam jumlah yang lebih kecil, sekitar 34-40 individu per m2, Nyale juga dapat ditemukan di Pantai Tampes (Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara), Pantai Padak (Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur), dan Pantai Kandangan (Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat).

Meskipun Nyale memiliki tiga warna yang berbeda, yaitu merah, hijau, dan kuning, penduduk setempat mengklaim bahwa rasanya sama saja. Cacing laut ini merupakan makanan khas lokal dan sering dikonsumsi selama Festival Nyale tahunan, yang merayakan pemijahan massal Polychaeta.

Manfaat Cacing Nyale

Hidangan istimewa dari Lombok, yaitu Nyale, sering diolah menjadi pepes nyale yang dibakar dengan daun pisang dan dijual seharga Rp35.000-Rp50.000. Pepes Nyale seukuran 250 gram ini kerap ditemukan di tepi jalan Lombok.

Dibandingkan dengan telur ayam (12,2 persen) dan susu sapi (3,5 persen), Nyale mengandung protein tinggi sebanyak 43,84 persen. Kadar fosfor dalam Nyale sebesar 1,17 persen juga lebih tinggi dibandingkan dengan telur ayam (0,02 persen) atau susu sapi (0,10 persen). Kandungan kalsium pada Nyale sebesar 1,06 persen ternyata lebih tinggi dari susu sapi yang hanya 0,12 persen.

Menurut Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Sri Purwaningsih, Nyale memiliki khasiat sebagai antidiabet alami. Di Tiongkok Selatan, ekstrak Nyale telah lama digunakan sebagai obat tradisional untuk pengobatan penyakit tuberkulosis, pengaturan fungsi lambung dan limpa, serta pemulihan kesehatan yang disebabkan oleh patogen.

Zat antibakteri pada Nyale, terutama dari famili Eunicedae, memiliki daya hambat terhadap kuman patogen seperti Proteus vulgaris, Escherichia coli, Streptococcus pyogenes, dan Helicobacter pylori.

Nyale juga diyakini memiliki manfaat bagi pertanian. Air bekas cucian dan ekstrak Nyale dapat menyuburkan lahan pertanian masyarakat Sasak. Kemunculan Nyale juga dijadikan pertanda bagi petani Sasak akan berakhirnya musim hujan dan bersiap menuju musim kemarau. Selama musim kemarau, petani tidak menanam padi hingga kembalinya bau Nyale.

Cara Berburu Cacing Nyale

Cara Berburu Cacing Nyale
Seorang ibu yang sedang berburu cacing Nyale / thelangkahtravelcom

Untuk memburu Nyale atau cacing laut dalam tradisi ini, jaring-jaring harus disebar mengikuti arah air laut dan angin. Hal ini dilakukan agar cacing laut berwarna-warni dapat tersangkut di jaring.

Cara memburu Nyale ini cukup unik dan menarik kareana biasanya banyak masyarakat yang ikut berpartisipasi, baik itu masyakarat dari luar daerah dan masyarakat yang tinggal di sekitar pantai pada saat musim pertama Nyale muncul.

Sejarah Bau Nyale

Pada zaman dahulu, terdapat kerajaan Seger yang dipimpin oleh raja dan permaisuri yang bijaksana. Mereka memiliki seorang putri cantik jelita yang dikenal sebagai Tojang Beru saat masih kecil. Saat dewasa, ia menjadi sangat menawan dan dikenal sebagai Putri Mandalika yang memiliki cahaya kejelitaan.

Banyak pangeran yang tertarik akan kecantikan Sang Putri dan melamarnya, namun ditolak. Ia khawatir bahwa persaingan tidak sehat antara para pangeran dapat menimbulkan peperangan. Namun, dua pangeran sangat bersikeras dan mengancam akan menghancurkan kerajaan jika tidak diterima.

Dalam keputusasaannya, Putri Mandalika memohon petunjuk pada Tuhan. Melalui sebuah mimpi, ia memutuskan untuk menceburkan diri ke laut agar tidak menimbulkan persaingan antar pangeran. Sebelum terjun, ia berseru agar menjadi nyale yang dapat ditemukan pada bulan dan tanggal tertentu.

Pada tanggal 20 bulan ke-10 tahun Sasak, Putri Mandalika menceburkan diri ke laut. Sesaat setelah itu, muncullah nyale, binatang kecil berbentuk cacing laut. Warga meyakini bahwa nyale adalah jelmaan dari Sang Putri, dan berlomba-lomba mengambilnya sebagai rasa cinta kasih.

Kisah Putri Mandalika dan Bau Nyale menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Lombok. Setiap tahun, masyarakat melaksanakan tradisi Bau Nyale pada bulan dan tanggal saat munculnya nyale di permukaan laut. Tradisi ini tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga membantu menjaga kearifan lokal dan kebersamaan antarwarga.

Namun, perlu diingat bahwa perburuan dan konsumsi nyale harus dilakukan dengan bijak untuk menjaga kelestarian tradisi dan ekosistem laut di Lombok. Kewaspadaan dalam menjaga populasi nyale dan lingkungan laut sangat penting untuk menjaga keberlangsungan tradisi Bau Nyale.

Dalam buku "70 Tradisi Unik Suku Bangsa di Indonesia" karya Fitri Haryani Nasution, cerita Putri Mandalika dan Nyale menjadi bagian dari warisan budaya Indonesia yang kaya dan unik. Dengan menjaga tradisi ini, kita dapat menjaga keberagaman budaya Indonesia agar tetap hidup dan berkembang.

Tujuan Tradisi Bau Nyale

Tradisi Bau Nyale di Lombok memiliki tujuan yang beragam. Salah satunya adalah keyakinan bahwa memakan olahan atau mentah Nyale dapat membuat seseorang awet muda dan mudah mendapatkan jodoh. Selain itu, masyarakat Lombok meyakini bahwa Nyale adalah perwujudan dari Putri Mandalika, sehingga binatang tersebut dianggap sakral dan memiliki nilai spiritual yang kuat.

Tradisi berburu Nyale telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Lombok sejak lama. Hal ini dilakukan untuk menjaga nilai-nilai identitas suku Sasak, terutama bagi para wanita yang dianggap memiliki peran penting dalam menjaga keberlangsungan adat dan budaya.

Festival Bau Nyale di Lombok menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di Indonesia. Festival ini mampu meningkatkan sumber devisa negara dan memberikan kesempatan bagi masyarakat lokal untuk memanfaatkan potensi wisata yang sedang ramai dikunjungi wisatawan.

Wisatawan dari berbagai penjuru dunia datang untuk menyaksikan momen langka ini, di mana ribuan Nyale tiba-tiba muncul ke permukaan laut. Selama festival, para wisatawan dapat menikmati berbagai kegiatan seperti perlombaan perahu dayung, tari-tarian, dan berbagai kuliner khas Lombok.

Dalam menjalankan tradisi Bau Nyale, masyarakat Lombok harus tetap memperhatikan kewaspadaan dan menjaga kelestarian ekosistem laut di sekitar. Peran pemerintah dan masyarakat lokal menjadi sangat penting untuk menjaga keberlangsungan tradisi ini serta memperkenalkan kebudayaan Indonesia ke seluruh dunia.

Pelaksanaan Tradisi Bau Nyale

Pelaksanaan Tradisi Bau Nyale
Pelaksanaan tradisi Bau Nyale / thelangkahtravelcom

Proses pelaksanaan Tradisi Bau Nyale di Lombok memiliki beberapa tahapan yang diawali dengan pertemuan para tokoh adat dalam Sangkep Wariga. Mereka menentukan hari yang baik (tanggal 20 bulan 10 penanggalan Sasak) untuk menangkap Nyale.

Sehari sebelum pelaksanaan, para mamik (tokoh adat) membacakan lontar di Bale Saka Pat, bangunan tradisional dengan tiang empat. Pembacaan lontar dilakukan dengan menembangkan beberapa pupuh atau nyanyian tradisional, seperti Pupuh Smarandana, Pupuh Sinom, Pupuh Maskumambang, dan Pupuh Ginada.

Dalam prosesi Bau Nyale, dipakai beberapa piranti seperti daun sirih, kapur, kembang setaman dengan sembilan jenis bunga, dua buah gunungan yang berisi jajanan tradisional khas Sasak, dan buah-buahan lokal. Semua piranti ini dipersiapkan sebelum masyarakat turun ke laut untuk menangkap Nyale.

Sebelum masyarakat turun ke laut, para tokoh adat menggelar upacara adat Nede Rahayu Ayuning Jagad di dini hari. Para tetua adat Lombok berkumpul dengan posisi melingkar, sementara jajanan dan buah-buahan yang berbentuk gunungan diletakkan di tengah-tengah mereka.

Dengan tahapan-tahapan yang kaya akan budaya dan tradisi, pelaksanaan Tradisi Bau Nyale di Lombok selalu menarik perhatian wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Prosesi ini menjadi salah satu magnet wisata yang menampilkan keindahan dan kearifan lokal masyarakat Lombok.

Keunikan dari Tradisi Bau Nyale

Tradisi Bau Nyale di Lombok memiliki keunikan tersendiri yang membuatnya menjadi salah satu wisata budaya yang menarik. Pada malam hari sebelum memburu Nyale, warga lokal dan turis menyalakan api unggun dan mempersembahkan drama tentang Putri Mandalika. Mereka juga menampilkan tarian-tarian tradisional Lombok yang memukau.

Pada pukul 03.00 dini hari, orang-orang turun ke pantai untuk memburu Nyale. Ada tradisi unik dalam menangkap binatang ini, yaitu dengan berteriak menggunakan kata-kata kasar. Masyarakat Lombok percaya bahwa berteriak seperti itu dapat memanggil Nyale keluar dari persembunyiannya di dasar laut. Tradisi ini sama persis dengan yang dilakukan oleh masyarakat Lombok saat Putri Mandalika mengorbankan dirinya dengan terjun ke laut.

Suasana di Pantai Seger semakin ramai pada siang hari saat pertunjukan Gendang Beleq dimainkan oleh para lelaki suku Sasak. Joget atau penari wanita juga menampilkan gerakan indah yang mengikuti irama musik gendang. Selain itu, ada pertunjukan adat Presean, di mana dua lelaki bertarung menggunakan kayu dan perisai untuk melindungi diri. Mereka menari tarian Sasak di setiap gerakan pertarungannya, menggambarkan perjuangan para pangeran untuk memperebutkan Putri Mandalika.

Keunikan dari Tradisi Bau Nyale di Lombok tidak hanya terletak pada prosesi penangkapan Nyale, tetapi juga pada seluruh rangkaian acara yang memukau. Tradisi ini menjadi magnet wisata yang menampilkan keindahan dan kearifan lokal masyarakat Lombok. Semua keunikan ini membuat Tradisi Bau Nyale menjadi salah satu daya tarik wisata yang sangat menarik dan unik di Indonesia.

Ketika berkunjung ke Lombok, jangan lupa untuk menyaksikan Tradisi Bau Nyale dan menikmati seluruh keunikan yang ditawarkannya. Dengan segala keindahan dan kearifan lokal yang dimilikinya, Tradisi Bau Nyale siap memukau para wisatawan dari berbagai penjuru dunia.

Kapan Tradisi Bau Nyale Dilaksanakan?

Penduduk Lombok mempercayai bahwa nyale memiliki Tuah yang dapat mendatangkan kesejahteraan bagi yang menghargainya dan keburukan bagi orang yang meremehkannya. Oleh karena itu, Upacara Bau Nyale dilaksanakan pada tanggal 20 bulan ke-10 dan awal tahun Sasak, yang ditandai dengan terbitnya bintang "Rowot", yang dikaitkan dengan pertanian.

Suku Sasak menghitung bulan ke-1 dimulai pada tanggal 25 Mei dan setiap bulannya dihitung selama 30 hari. Sehingga, jika dibandingkan dengan tahun Masehi, bulan ke-10 jatuh pada sekitar bulan Februari.

Festival Bau Nyale dilakukan setiap tanggal 20 bulan 10 dalam penanggalan tradisional Sasak (pranata mangsa) atau tepat 5 hari setelah bulan purnama. Festival ini umumnya dilaksanakan antara bulan Februari dan Maret setiap tahunnya. Masyarakat Lombok mulai menangkap nyale di pantai selatan Lombok, seperti Pantai Seger Kuta Lombok, Tanjung Aan, Kaliantan, dan daerah selatan lainnya untuk menunggu munculnya nyale yang biasanya keluar pada pukul 04.00 hingga 06.00.

Proses penentuan tanggal kemunculan nyale bukanlah hal yang sembarangan. Pemangku adat Sasak dari keempat penjuru mata angin harus bertemu di tempat suci dan menggelar ritual wajib yang tak boleh diketahui orang-orang. Setelah itu, masyarakat Lombok dapat menangkap nyale.

Festival Bau Nyale penting bagi masyarakat Lombok dan kemajuan pariwisata di daerah tersebut. Festival ini memperingati tradisi budaya yang unik dan menjadi bagian penting dari sejarah dan identitas masyarakat Lombok.

Makna Tradisi Bau Nyale 

Masyarakat Lombok Selatan meyakini bahwa tradisi Bau Nyale memiliki makna filosofis yang penting. Mereka percaya bahwa jika nyale keluar banyak, pertanian akan berhasil. Oleh karena itu, masyarakat akan membuang daun bekas pembungkus nyale ke sawah untuk memastikan hasil panen melimpah.

Legenda putri Mandalika, yang terjun ke laut dan berubah menjadi cacing laut, dijadikan sebuah tradisi untuk menangkap cacing laut yang banyak terdapat di pantai-pantai selatan Lombok pada bulan-bulan tertentu. Legenda ini masih hidup di kalangan suku Sasak di Lombok Selatan dan menjadi simbol penting tentang kearifan lokal masyarakat dalam menjaga keseimbangan dengan alam serta bagaimana tradisi dapat diintegrasikan dengan kemajuan pariwisata dan pembangunan ekonomi daerah.

Berdasarkan beberapa sumber, makna filosofis dari legenda putri Mandalika yang terjun ke laut dan berubah menjadi cacing laut bisa diambil hikmah, sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat setempat, sebagai berikut:

Rela Berkorban

Legenda putri Mandalika menyimpan nilai penting yang bisa diambil sebagai pelajaran dalam kepemimpinan. Salah satunya adalah sikap rela berkorban. Dalam legenda tersebut, putri Mandalika rela mengorbankan dirinya demi kepentingan rakyat bumi Sasak, untuk menghindari potensi peperangan akibat persaingan para pangeran yang menginginkannya.

Sebagai seorang pemimpin, penting bagi seseorang untuk peduli dengan kesejahteraan rakyatnya dan memiliki sikap rela berkorban demi kepentingan banyak. Sikap ini dapat menjadi panutan bagi para pemimpin di masa kini, sehingga mampu menciptakan rakyat yang terayomi dan meneladani sikap tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Pesta Rakyat

Tradisi Bau Nyale memiliki nilai filosofis yang penting sebagai bentuk pesta ekonomi inklusif. Artinya, tradisi ini tidak boleh diprivatisasi oleh siapapun, namun semua orang berhak untuk berpartisipasi dan memanfaatkannya. Konsep inklusif ini mencerminkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesetaraan dan kebersamaan dalam memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitarnya, sehingga tercipta keseimbangan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat.

Keselamatan dan Kesejahteraan

Masyarakat setempat percaya bahwa keluarnya nyale atau cacing tanah memiliki hubungan yang erat dengan keselamatan dan kesejahteraan mereka. Di samping itu, mereka juga percaya bahwa nyale dapat menyuburkan tanah sehingga hasil panen menjadi lebih melimpah. Semakin banyak cacing tanah yang keluar, semakin banyak pula hasil panen yang mereka dapatkan.




Posting Komentar untuk "Tradisi Bau Nyale yang Memiliki Keunikan "